Fintech securities crowdfunding atau fintech urun dana adalah sebuah platform yang melayani penerbitan efek UMKM atau perusahaan startup berupa saham atau surat hutang untuk membiayai ekspansi bisnis atau proyek baru. Kenali juga manajemen aset efektif dengan trend teknologi.
Meski fintech urun dana menjanjikan potensi pertumbuhan ekonomi, Hal ini juga memunculkan kekhawatiran terkait penyalahgunaan untuk tindak kejahatan keuangan. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui SEOJK 17/SEOJK.04/2022, menekankan pentingnya penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) yang efektif.
Namun, dengan karakteristik yang berbeda-beda, para penyelenggara layanan urun dana perlu menggunakan pendekatan berbasis risiko atau risk based approach sebagai strategi yang tepat untuk mengoptimalkan efektivitas APU PPT, sekaligus menjaga efisiensi operasional fintech urun dana. Lalu, apa itu risk based approach yang dimaksud di dalam peraturan ini?
Contents
Pengertian Pendekatan Berbasis Risiko dalam Peraturan Ini?
Pendekatan Berbasis Risiko atau Risk Based Approach (RBA) adalah sebuah pendekatan yang digunakan dalam manajemen risiko untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan risiko.
Dalam SEOJK Nomor 17/SEOJK.04/2022 pendekatan berbasis risiko diterapkan untuk mencegah tindakan pencucian uang dan pendanaan terorisme bagi penyelenggara layanan urun dana berbasis teknologi informasi.
Penerapan Pendekatan Berbasis Risiko sendiri bertujuan untuk memastikan bahwa sumber daya dan upaya yang dikeluarkan oleh penyelenggara untuk mengendalikan risiko dan dialokasikan secara efektif dan efisien.
Dengan fokus pada risiko yang paling signifikan, penyelenggara dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya mereka dan mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian akibat risiko yang tidak terkendali.
Langkah-langkah Pendekatan Berbasis Risiko
Pada SEOJK Nomor 17/SEOJK.04/2022 Lampiran A disebutkan langkah-langkah pendekatan berbasis risiko yang diantaranya:
1. Identifikasi Risiko
Penyelenggara harus mengidentifikasi risiko bawaan (inherent risk) yang terkait dengan nasabah, negara/area geografis, produk/jasa/transaksi, dan jaringan distribusi.
2. Penilaian Risiko
Setelah itu, perlu dilakukan penilaian atau pengukuran risiko. Pengukuran ini mempertimbangkan baik probabilitas terjadinya risiko maupun dampak yang mungkin ditimbulkan jika risiko tersebut benar-benar terjadi.
3. Penetapan Toleransi Risiko
Penyelenggara harus menetapkan tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Ini adalah tingkat risiko maksimum yang bersedia diterima oleh penyelenggara.
4. Pengendalian dan Mitigasi Risiko
Strategi pengendalian dan mitigasi risiko harus dikembangkan dan diterapkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko atau meminimalkan dampaknya. Hal ini harus didokumentasikan dalam bentuk kebijakan dan prosedur.
5. Evaluasi Risiko Residu
Setelah strategi pengendalian diterapkan, perlu dilakukan evaluasi terhadap risiko residu, yaitu risiko yang masih tersisa setelah pengendalian dilakukan. Hal ini harus dibandingkan dengan batas toleransi risiko yang telah ditetapkan sebelumnya.
6. Monitoring dan Review
Proses manajemen risiko harus dipantau terus-menerus. Pemantauan terhadap risiko dan efektivitas pengendalian sangat penting untuk diterapkan. Jika diperlukan, penilaian risiko dan strategi pengendalian harus ditinjau dan diperbarui secara berkala.
Sumber: SEOJK Nomor 17/SEOJK.04/2022